PEMERINTAHAN KOLONIAL HINDIA BELANDA DI JAWA PADA TAHUN 1800-1900

A. Republik Bataaf
Republik Batavia (bahasa Belanda: Bataafse Republiek) adalah nama suatu republik yang didirikan di Belanda antara tahun 1795 sampai dengan 1806, yang bentuknya mengikuti model Republik Perancis. Republik Batavia diproklamasikan pada 19 Januari 1795, yaitu sehari setelah walinegara Willem V, van Oranje-Nassau melarikan diri ke Inggris. Kemudian pada tanggal 4 Maret, sebuah pohon simbol kebebasan ditanam di depan Balai Kota Amsterdam.
Sejak 1581 Belanda berbentuk Republik, mengakhiri elit politik dari kaum aristokrat pengusaha dan dinasti Oranje. Karena kekuasaan bertambah dan terpusat di golongan yang semakin kecil, maka pada akhir abad ke-18 terjadi penentangan terhadap struktur kekuasaan yang ada. Patriotten yang berorientasi pada pencerahan menuntut hak lebih dalam pengambilan keputusan. Karena gagal dan campur tangan Prussia di Belanda, pada tahun 1787 mereka melarikan diri
ke Perancis. Republik Tujuh Provinsi Belanda yang bersatu bersikap netral di awal Peperangan Koalisi (Peperangan era Napoleon) Pertama melawan kaum revolusioner Perancis (1792-1797). Republik Tujuh Provinsi merupakan pemberi modal yang terpenting bagi Kerajaan Britania Raya, sedangkan Kerajaan Britania Raya merupakan musuh utama dari Revolusi Perancis. Hal ini mengakibatkan Belanda terlibat dalam konflik. Pada 1 Februari 1793, Perancis memaklumkan perang terhadap Belanda. Pada musim dingin 1794/ 1795 pasukan Perancis memasuki Belanda dan menguasai Amsterdam pada 20 Januari 1795. Para pelarian tahun 1780-an memproklamasikan Republik Batavia sebelum berakhirnya konflik. Ketika VOC di Indonesia mengalami krisis dana, di Benua Eropa sedang berlangsung Perang Koalisi (tahun 1792-1797), Perancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte dapat mengalahkan Austria, Prusia, Inggris, Spanyol, Sardinia, dan Belanda. Setelah itu, Belanda diambil alih oleh Perancis. Bentuk pemerintahan kerajaan pun diubah ke dalam bentuk Republik dengan nama Bataafsche Republiek (Republik Bataaf yang kemudian membubarkan VOC tanggal 31 Desember 1799).
Pada 16 Mei 1795, Perancis dan Republik Batavia menandatangani Perjanjian Damai Den Haag; Eksklave Maastricht, Venlo, Limburg dan Vlaanderen yang dikuasai Perancis diintegrasikan dengan Belanda (sekarang menjadi Belgia), dan Republik Batavia harus mengakomodasi 30.000 pasukan Perancis di wilayahnya. Kedua Republik juga mengadakan Perjanjian Pertahanan dan Aliansi Offensif dalam pertempuran berikutnya melawan koalisi, terutama Austria dan Britania Raya. Republik Batavia menetapkan titik balik politik nasional: Suatu Negara kesatuan di mana ketika masih merupakan Negara Belanda Bersatu, Belanda hanyalah sebuah Federasi dari beberapa negara kecil, di mana masing-masing negara menjalankan politik dalam negerinya sendiri. Dan mulai dari Republik Batavia, Belanda memiliki Pemerintahan yang terpusat. Politik luar negeri tidak dijalankan Republik ini karena berada di bawah penguasaan Perancis. (http://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Batavia diakses pada 26/ 09/ 2012).
B    Kependudukan dan Sumber Kehidupan
Berdasarkan sumber tertulis yang sangat langka mengenai kependudukan, ialah buku History of Java tulisan Raffles, penduduk Jawa pada awal abad XIX berjumlah 4.615.270, di antaranya lebih dari 1,5 juta hidup di daerah kerajaan dan kira-kira 3 juta ada di daerah yang langsung diperintah oleh pihak kolonial. Pemencaran pemukiman tidak merata, banyak daerah subur ditinggalkan penduduknya, banyak pemindahan terjadi ke daerah kerajaan. Penduduk daerah Banyuwangi menurun dari 80 ribu menjadi delapan ribu; begitu pula dari daerah Priangan di mana penduduk dibebani dengan pelbagai kewajiban.
Perbandingan kelahiran menurut sumber itu 1 dan 40, sedang perbandingan kematian adalah 1,49. Selanjutnya dilaporkan bahwa satu cacah (keluarga) rata-rata terdiri atas 4 sampai 4,5 anggota. Jarang sekali ditemukan keluarga besar yang beranggotakan lebih dari sepuluh orang. Pada awal abad XIX Jawa sudah merupakan daerah agraris. Sebagian besar dari penduduknya hidup dari pertanian, termasuk peternakan. Pertanian diusahakan secara tradisional, teknologi yang dipergunakan juga bersifat tradisional memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang masih ada pada tingkat subsistensi (Kartodirdjo, 1987: 289).
Di Surabaya ada 129.938 jiwa, terdiri atas 33.141 keluarga di antaranya 32.618 keluarga termasuk golongan petani dan 523 termasuk pekerja bidang lain. Luas daerah itu 1200 mil persegi atau 34.955 jung, di antaranya hanya 20.000 yang ditanami. Jumlah desa ada 2770, maka setiap desa rata-rata mendapat kira-kira 7 jung. Di Kedu jumlah penduduk 197.310, jumlah desa 3879, luas tanah 19.052 jung, maka di daerah itu pada setiap desa ada 5 jung. Pada tingkat subsistensi itu ketidaktahuan dan aspirasi yang rendah, lagi pula ekonomi alamiah, tidak cukup bagi pemasaran yang terbuka dan maju, maka produktivitas tetap rendah. Daerah persawahan sudah luas, terdapat baik di lereng pegunungan maupun di tanah dataran rendah. Sistem pengairan telah dikembangkan secara luas.
Di samping tanaman padi, buah-buahan dan sayur-sayuran beraneka warna merupakan hasil pertanian pula. Dikatakan bahwa kepala keluarga dengan dibantu oleh istrinya dapat menghidupi 10-12 orang. Padahal besarnya keluarga pada umumnya kurang dari separuh dari itu, sehingga ada surplus pendapatan untuk membeli kebutuhan lain, seperti alat-alat pertanian, pakaian, dan barang-barang lain (Kartodirdjo, 1987: 290).
C.   Dirk van Hogendorp (1799-1808)
Dalam menghadapi kondisi kehidupan rakyat yang serba terbelakang menurut kaum liberal kesemuanya itu terutama disebabkan oleh sistem feodal yang mematikan semua hasrat rakyat. Untuk mengatasi hal itu maka diusulkan oleh van Hogendorp agar kedudukan bupati dan penguasa daerah lainnya diatur kembali., pemilikan atau penguasaan tanah sebagai sumber pemerasan dicabut dan tanah dikembalikan kepada rakyat. Rakyat diberi tanah untuk ditanami secara bebas, bebas memilih jenis tanaman serta menyalurkannya dan bebas melakukan pekerjaan. Sebagai pengganti verplichte leveranties (penyerahan wajib) diadakan pajak berupa hasil bumi dan uang kepala. Dengan sistem baru itu diharapkan rakyat akan lebih giat menanam dan menghasilkan kopi, beras, lada, kapas, coklat, dan minyak kelapa. Hal itu akan mendorong perkembangan pemasaran, lagi pula kemajuan produksi ekspor (Kartodirdjo, 1987: 291).
D.   Herman Willem Daendels (1808-1811)
Keadaan yang masih berlaku saat VOC berkuasa ialah bahwa para bupati dan pengasa daereah lainnya masih memegang peranan dalam perdagangan. Sebagai perantara mereka memperoleh keuntungan, antara lain berupa prosenan kultur yaitu berupa persentase tertentu dari harga tafsiran penyerahan wajib dan kontingen yang dipungut dari rakyat.
Pada masa pemerintahan Daendels sistem pemerintahan feodal dihapus. Hal tersebut untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, serta hak-hak Bupati mulai dibatasi, terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat.

Maka dari itu terdapat beberapa kebijakan yang dberlakukan selama masa pemerinahan Daendels (Kartodirdjo, 1987: 291), antara lain:

a)  Sistem pasaran bebas tidak berkembang dan tidak muncul golongan pedagang.

b)  Dalam sistem feodal kedudukan bupati sangat kuat, sehingga setiap tindakan perubahan tidak dapat berjalan tanpa kerjasama mereka. Kepemimpinannya berakar kuat dalam masyarakat sehingga tidak mudah menggeser kedudukannya, bahkan untuk mengurangi kekuasaan dan wewenangnya.

c)  Terdapat dalam tugas pemerintah Daendels sendiri yang perlu mempertahankan Pulau Jawa terhadap serangan Inggris. Sehubungan dengan itu perhubungan di Jawa perlu dibangun, antara lain pembuatan jalan raya yang menghubungakan dearah-daerah di Jawa dari Anyer sampai Panarukan, kemudian terkenal sebagai Jalan Raya Pos (Grote Postwege). Untuk keperluan pembangunan besar ini dibutuhkan tenaga rakyat, maka dari itu wajib kerja (verplichte dienstern) dipertahankan. Disamping itu wajib penyerahan juga masih berlaku, sehingga pada masa pemerintahan Daendels sebenarnya sistem tradisional masih berjalan terus.

Sesuai dengan prinsip-prinsip kebijakannya Daendels membatasi kekuasaan para raja, antara lain hak mengangkat penguasa daerah diatur kembali, termasuk larangan untuk menjual belikan jabatan itu. Karena mengadakan pemberontakan maka Kesultanan Banten dihapuskan.
Dengan dibangunnya Jalan Raya Pos diletakkannya prasarana yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi, sosial, dan politik Jawa, tidak hanya dalam bidang transportasi tetapi juga dalam administrasi pemerintahan dan mobilitas sosial (Kartodirdjo, 1987: 292).
 E.  Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada 1811. Raffles adalah seorang pembaharu dan penentang despotisme sebagaimana Daendels (Ricklefs, 2001: 249). Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip liberal seperti halnya pada Van Hogendorp, jadi Raffles hendak melakukan politik kolonial yang mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan, keduanya akan menjamin adanya kebebasan produksi untuk ekspor. Raffles bermaksud menerapkan politik kolonial seperti  yang dijalankan oleh Inggris di India, menurut suatu sistem yang kemudian terkenal sebagai Sistem Pajak Tanah (Landerent System).
Pokok-pokok sistem yang diberlakukan oleh Raffles (Kartodirdjo,1987: 292-293), adalah sebagai berikut:
a)  Penghapusan seluruh pengerahan wajib dan wajib kerja dengan memberi kebebasan penuh untuk kultur dan berdagang.
b)  Pemerintah secara langsung mengawasi tanah-tanah, hasilnya secara langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati yang tugasnya terbatas pada dinas-dinas umum.
c)  Penyewaan tanah di beberapa daerah dilakukan berdasarkan kontrak dan batas waktunya.
Pelaksanaan politik pajak tanah yang dilakukan oleh Raffles bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memberikan kebebasan bagi mereka. Melalui pelaksanaan politik liberal itu berarti sistem tradisional dan feodal perlu digantikan dengan sistem baru yang didasarkan atas prinsip legal-rasionalitas. Maka dari itu perubahan sistem birokrasi yang demikian perlu melakukan pembaruan terhadap sistem yang diberlakukan oleh VOC mengenai pemungutan hasil dan pengerahan tenaga rakyat.
Bagi Raffles yang menjadi penghalang utama dalam melaksanakan sistem politiknya ialah unsur feodal yang sangat kedudukannya dan sistem ekonomi yang bersifat tertutup, sehinggga pembayaran pajak belum dapat dilakukan sepenuhnya dengan uang.  Bagi pihak Belanda faktor yang sangat menentukan politik kolonialnya ialah keadaan ekonomi Negara Belanda sendiri. Karena pada waktu itu di Negara Belanda masih bersifat agraris, industri belum berkembang dan kemunduran-kemunduran ekonomi yang dialami Belanda akibat dari perang Napoleon, maka dalam keadaan seperti itu politik kolonial berdasarkan liberalisme tidak cocok dan tidak realitas untuk diterapkan.
Setelah Raffles menerapkan sistem pajak tanah yang dalam pelaksanaanya kurang efektif, maka Raffles  menerapkan Landerijk Stelsel yaitu jalan tengah diantara dua pilihan. Belanda akhirnya mengambil langkah kembali ke sistem VOC dengan beberapa perubahan. Sistem VOC tersebut terkenal dengan sebutan Cultuur Stelsel (Sistem tanam paksa) (Kartodirdjo, 1987: 294).
F.    Van der Capellen (1819-1826)
Masa Peralihan (1816–1830), peralihan kekuasaan dari tangan Inggris ke tangan Belanda yang terjadi pada tahun 1816 ini menghadapkan Belanda pada permasalahan sistem mana yang akan diterapkan di Indonesia agar keuntungan secara ekonomi tetap didapatkan. Terjadinya perubahan politik yang diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa di Eropa mendorong Inggris dan Belanda mengadakan perundingan di London.
Berikut ini ketetapan berdasarkan Convention of London (1814):
a)  Semua bekas jajahan Belanda yang dikuasai Inggris dikembalikan kepada Belanda, kecuali Afrika Selatan, Ceylon, dan beberapa tempat di India.
b)  Akan dibentuk komisi yang dipimpin oleh Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der Capelen. Komisi ini bertugas memperbaiki ekonomi Indonesia, membayar utang-utang Belanda, dan mengambil piutangnya.
c)   Pemerintah Belanda mendirikan Nederlandsche Handels Maatschappij (serikat dagang Belanda satu-satunya yang berhak mengekspor hasil bumi yang dihasilkan dari tanam paksa) yang mendapatkan bantuan dari pemerintah Belanda dan Eropa.
Sejak tahun 1816 Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Van der Capellen.  Pada waktu Van der Capellen menerima jabatan sebagai Gubernur Jendral peran bupati sudah sangat berkurang dibanding pada zaman VOC. Namun Van der Capellen menyadari bahwa para bupati mempunyai pengaruh yang besar bagi rakyat dan dia juga menyadari pejabat Eropa tidak akan sanggup menggantikan kedudukan sosial dalam masyarakat Jawa. Ditinjau dari tujuannya yaitu untuk meningkatkan kemakmuran rakyat di Jawa dan merangsang produksi tanaman dagangan, sistem sewa tanah dapat dikatakan telah menuai kegagalan. Usaha-usaha untuk mengganti strukur masyarakat yang tradisional (feodal) dan memberikan kepastian hukum pada para petani pun tidak berhasil.
Van der Capellen pada tahun 1823 membuat kebijakan menghentikan dan menghapus penyelewengan tanah swasta di Jawa Tengah (Ricklefs, 2001: 254). Kebijakan tersebut merugikan para bangsawan pribumi, karena mereka harus membayar ganti rugi dan uang sewa yang harus dibayarkan pada para pengusaha Eropa dan Cina. Inilah salah satu faktor penyebab munculnya pemberontakan dari para bangsawan di Jawa Tengah.
Untuk memperoleh sumbangan keuangan baik Daendels maupun Raffles, meskipun tidak konsekuen dengan prinsipnya, menjual dan menyewakan desa kepada non pribumi, ialah bangsa Eropa, Cina, Arab. Di daerah kerajaan raja-raja bangsawan dan pejabat mendapat kebebasan juga menyewakan tanah kepada bangsa Eropa. Van der Capellen menentang sistem ini oleh karena bersama dengan penyewaan desa atau tanah, tenaga rakyat dapat digunakan oleh penyewa. Akibatnya ialah bahwa dengan demikian eksploitasi rakyat oleh penyewa  dapat merajalela tidak kurang dari pada lingkungan tradisional atau feodal (Kartodirdjo, 1987: 337).
G.   L. P. J. Du Bus de Gisignies (1826—1830)
Sesuai dengan politik Raja Willem I yang bercap liberal pada tahun 1825 diangkatlah du Bus, seorang kapitalis Belgia terkemuka, sebagai pengganti van der Capellen. Konsepnya tentang politik kolonial sejalan dengan konsep Willem I, ialah kebebasan penanaman bersama dengan meningkatkan produksi untuk ekspor sebagai dasar guna memajukan perdagangan dan pajak tanah. Menurut du Bus peningkatan produksi akan menambah kemampuan pribumi untuk membeli, berbeda dengan Raffles yang beranggapan bahwa perbaikan kesejahteraan rakyatlah yang dapat meningkatkan daya belinya.
Dalam pelaksanaan ekonomi politiknya du Bus mengalami hambatan-hambatan, seperti:
a)  Tanah yang telah digarap di Jawa baru 1/4 atau 1/8  dari luas keseluruhannya.
b)  Pribumi tidak mempunyai hasrat membuka tanah baru karena cukup hidup dari penanaman padi pada sebidang tanah sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Politik du Bus memerlukan tanah dan tenaga rakyat ditambah modal kaum Eropa, ketiga faktor itu akan membuat produksi ekspor. Tanah di sini yang dimaksud ialah tanah yang belum dipergunakan oleh pribumi tetapi yang terletak tidak jauh dari desa-desa agar mudah menarik tenaga kerja yang bebas di luar musim tanam dan panen; baik dari pemilik, penggarap tanah, ataupun buruh tani. Perencanaan politik du Bus bernada sangat optimistis terutama mengenai mentalitas pribumi yang akan meningkatkan taraf hidupnya setelah diberi dorongan berproduksi lebih besar. Lagi pula kurang disadarinya bahwa struktur feodal serta ikatan tradisional di pedesaan masih sangat kuat sehingga kurang pasti apakah tenaga kerja dapat ditarik ke perkebunan Eropa itu. Sehubungan dengan itu perlu ditambahkan bahwa solidaritas di desa masih sangat kuat sehingga perkembangan kemajuan ataupun kesejahteraan perseorangan tidak mudah timbul. Di samping itu struktur sosial di pedesaan sedemikian hingga dalam masalah transaksi dengan dunia luar desa petani sangat tergantung pada perantara-perantara, baik bupati dan lurah ataupun tengkulak dan pemberi utang. Hasil dari politik du Bus ialah kemerosotan pemasukan pajak tanah pada satu pihak dan tidak tampaknya kemajuan hasil ekspor, seperti kopi, gula dan indigo.
Persepsi baik dari Raffles maupun du Bus ternyata sangat dipengaruhi oleh ideologi liberalisme mereka; pada umumnya bernada sangat optimistis mengenai mentalitas rakyat pribumi, maka ekonomi politiknya meleset dan banyak mengahadapi hambatan serta kegagalan. Struktur agraris Pulau Jawa dengan tradisi kuat dan feodalisme yang berakar dalam, tidak memungkinkan prinsip kebebasan individu, perdagangan, dan kepastian hukum dalam pemerintahannya (Kartodirdjo, 1987: 338).
H.   Sistem Pemerintahan dan Birokrasi pada Masa Kolonial
Pada zaman kerajaan Mataram, para Bupati adalah pemegang dan pelaksana pemerintahan di daerah (ministeriales) yang mendapat otoritas dari kekuasaan pusat kerajaan. Otoritas itu tidak didasarkan atas pewarisan melainkan atas posisi yang diduduki dalam struktur kekuasaan dalam kerajaan. Waktu VOC (selanjurnya disebut Kumpeni) memperoleh kekuasaan di daerah pesisir, yang menganggap dirinya sebagai yang berdaulat serta menetapkan hubungannya dengan bupati, seperti hubungan antara raja dan bupatinya (Kartodirdjo, 1987: 339). Kehidupan rakyat tradisional sistem ekonominya belum sepenuhnya terbuka, hubungan masyarakat masih bersifat komunal, solidaritasnya berdasarkan perasaan. Maka dalam masyarakat tersebut berkembang sistem tukar menukar tenaga dan jasa berdasarkan prinsip timbal balik atau biasa dikenal dengan suatu sistem sumbangan rewang, tolong-menolong, punjungan, atau apa yang lazim  secara umum disebut gotong royong.  Berdasarkan ikatan ini untuk banyak usaha produksi tidak diperlukan uang sebagai upah, tenaga dapat dikerahkan menurut prinsip penukaran. Dengan demikian tenaga sebagai modal belum bebas dari keterikatan tradisi di desa.
Pengawasan dan pemeriksaan semakin mempersempit wewenang bupati. Bupati dipandangnya sebagai vasal yang dapat memetik hasil daerahnya atas kemurahan Kumpeni. Disebut pula bupati sebagai “bawahan dari sekutu”. Meskipun Kumpeni semakin memperbesar ketergantungan bupati padanya, akan tetapi dukungannya menempatkan bupati pada kedudukan yang semakin berkuasa di daerahnya. Pada tahun 1803 Panitia Perdagangan dan pemerintahan menyarankan agar bupati dipertahankan dalam kedudukannya serta dimantapkan otoritas serta hak istimewanya, tidak lain karena fungsi mereka tidak dapat disisihkan, yaitu sebagai perantara dalam pungutan-pungutan. Selaras dengan politiknya, Daendels memberikan kepada bupati sebagai pegawai yang diangkat oleh gubernur dan diberi gaji, bertugas sebagai pelaksana serta bertanggungjawab kepada pemerintah. Penggajian tidak dapat dilaksanakan dengan cara baru, terpaksa tetap menurut aturan tradisional, yaitu dengan menerima sepersepuluh dari hasil panen ditambah dengan penghasilan yang menjadi haknya menurut adat-istiadat daerah (Kartodirdjo, 1987: 340). Memanfaatkan rakyatnya untuk bekerja lebih keras lagi agar mendapatkan keuntungan yang besar dapat dilakukan oleh bupati yang serakah terhadap rakyatnya sendiri. Semua itu atas dasar kepentingan pribadi. Pada masa kolonial yang bertujuan untuk menguasai daerah jajahan yang dapat menghasilkan dan menjamin adanya keuntungan bagi negeri induk, maka sistem yang paling sesuai untuk menjalankan pemerintahannya, penguasa kolonial memakai sistem pemerintahan tak langsung. Hal ini sesuai struktur kekuasaan tradisional yaitu sistem feodal.
Dalam pelaksanaan birokratisasi oleh Raffles dan kemudian para Komisaris Jenderal, kondisi masyarakat menjadi penghambat sehingga terpaksa kembali ke sistem lama. Para Komisaris Jenderal menambah peraturan-peraturan, antara lain pada tahun 1819 larangan berdagang bagi bupati, disusul kemudian larangan menguasai tanah kedudukan. Peraturan-peraturan pemerintah yang dibuat diatas kertas sejak Daendels, belum dapat dilaksanakan antara lain karena masih terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai posisi bupati, lagi pula uniformitas untuk seluruh Jawa menghadapi hambatan dengan adanya perbedaan adat dan keadaan di pelbagai daerah, yang menyebabkan Raffles mengalami kesulitan dalam menjalankan sistem pajak tanahnya. Peranan feodal kepada bupati merupakan cara ia untuk memperoleh keuntungan dari Indonesia. Padahal, jika dilihat dari prakteknya dalam dua puluh tahun yang lalu pemerintah tidak peduli terhadap humanitarianisme seperti yang dijunjung tinggi di Eropa, bahkan perhatian lebih banyak dicurahkan kepada para bupati.
Van den Bosch juga menginstruksikan agar para bupati diperlakukan dengan hormat, diperhatikan kesulitannya dalam bidang keuangan, serta dikabulkan permintaan mereka akan milik tanah. Sikap yang sama tercermin dalam peraturan 1836 dari Baud yang juga menjamin posisi sosial para bupati antara lain memperkuat hak pewarisan pangkat dalam keluarga (Kartodirdjo, 1987: 342).
Kontradiksi antara prinsip gubernemen dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya belum diatasi dalam RR 1854, yang mempertahankan status quo yang mana lembaga lama perlu dihormati dan rakyat perlu diperintah oleh kepala-kepalanya sendiri, serta bupati perlu menunjukkan kesetiaannya kepada pemerintah Hindia Belanda. Maka selama bagian kedua abad XIX birokrasi modern belum mantap, yaitu dualisme yang ada menonjolkan bentuk-bentuk tradisional setengahnya modern, setengahnya feodal.
Suatu langkah penting dalam proses pelembagaan pangreh praja dilakukan dengan penyusunan hierarki bagian Eropa dan sejajar dengan itu pembagian wilayah-wilayahnya. Antara tahun 1830 dan 1870 jumlah Asisten Residen (AR) sudah berlipat dua. Seorang AR dibantu oleh seorang kontrolir (controleur), seorang pejabat yang dalam prakteknya ternyata mempunyai kesempatan langsung berhubungan dengan rakyat di pedesaan. Pada tahun 1874 diangkat patih di setiap kabupaten dan di setiap afdeling dimana tidak ada bupati. Semua tingkatan disusun berdasarkan penilaian, sehingga para anggota pangreh praja mendapat kedudukan sebagai pegawai, bukan lagi sebagai penguasa setempat dengan segala fungsi dan hak-hak tradisionalnya.
Dengan merosotnya perdagangan di pantai Utara Jawa, maka monopoli dagang dipegang oleh kumpeni, struktur feodal menjadi kuat karena jatuh kembalinya masyarakat ke struktur agraris. Dengan sistem verplichte leveranties serta contingenten, kumpeni tidak hanya mengeksploitasi struktur feodal bagi kepentingannya sendiri tetapi juga memperkuatnya. Pada masa transisi sewaktu ada pemindahan kekuasaan dari kumpeni kepada pemerintah Hindia Belanda maka kekuasaan bupati ada pada puncaknya. Gaya hidupnya memberi persaksian mengenai segala kebesaran yang melingkupi bupati. Sementara itu proses komersialisasi dengan monetisasinya serta industrialisasi petanian menghendaki perubahan struktural masyarakat, dengan mengganti pemerintahan tak langsung (indirect rule), yaitu tidak dirumuskan hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab bupati oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi pemerintah langsung (direct rule), otoritas tradisional diganti otoritas legal rasional. Dengan demikian birokratisasi pemerintahan menjalankan fungsi penting dalam perubahan, struktural masyarakat (Kartodirdjo, 1987: 343).
Status bupati dalam lingkungan tradisional adalah status askriptif (suatu keadaan yang tidak dapat ditemukan dalam birokrasi modern dimana untuk memenuhi standar tertentu diperlukan status yang dicapainya dengan usaha “achieved status”). Langkah-langkah penting yang mendorong ke arah modernisasi birokrasi adalah pendirian sekolah-sekolah bagi calon pangreh praja dan penilaian para anggotanya, yaitu dengan cara conduite-staat (catatan tentang keadaan pekerjaan seorang pegawai). Jelas bahwa yang berhak untuk mengikuti sekolah ini adalah dari keturunan pegawai, rakyat kecil tidak boleh mendapatkan hak untuk sekolah. Memang sikap modernisasi diterapkan dalam Indonesia, tetapi belum sepenuhnya dapat menyentuh rakyat kecil, mereka yang berpendidikan rendah atau penghasilan sedikit tidak semuanya mendapatkan kesempatan untuk sekolah.
Langkah penting dalam birokratisasi adalah proses pengakuan hukum untuk melindungi hak-hak rakyat. Menurut peraturan yang berlaku sampai tahun 1848 residen mempunyai tugas juga sebagai polisi dan hakim. Pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan komunikasinya serta perkembangan perkebunannya menimbulkan kompleksitas dan diferensiasi sosial. Ini berarti bahwa pemerintahan daerah semakin mengalami birokratisasi (Kartodirdjo, 1987: 345).
Sejak pertengahan abad XIX pangreh praja baru mulai mengalami proses itu secara nyata, sebab gagasan mengenai itu yang muncul sejak awal abad tersebut baru dirumuskan diatas kertas. Selama abad XIX aristokrasi tradisional dapat menjalankan kepemimpinannya dengan menyesuaikan diri kepada struktur pemerintahan kolonial. Seperti halnya pada masa VOC dan STP, bupati ada dalam kedudukan yang kuat. Pada satu pihak otoritasnya tidak diganggu gugat oleh Belanda, karena pihak Belanda tidak mau mencampuri urusan bupati atau berhubungan langsung dengan rakyat. Dengan kata lain, bupati berkuasa atas otoritas dalam struktur feodal. Maka dari itu struktur administrasi pribumi masih sama dengan apa yang terdapat dalam masyarakat feodal (Kartodirdjo, 1987: 346).
Bagi kedudukan bupati itu berarti bahwa lingkungan pemerintahannya yang terpisah dari lingkungan pemerintahan BB Eropa akan semakin diintegrasikan ke dalam lingkungan yang terakhir. Bupati tidak lagi sebagai “saudara muda” tetapi hanya sebagai pegawai pemerintahan. Segala hak dan kewajibannya akan diberi batasan terumuskan secara tegas sesuai dengan prinsip birokrasi modern. Otoritas tradisionalnya berubah menjadi otoritas modern. Hal ini menjelaskan bahwa kedudukan bupati saat ini tidak lagi sebagai penguasa tunggal dalam wilayahnya, tidak ada lagi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh bupati terhadap rakyatnya. Semua berada dibawah peraturan pihak Belanda.
Pada awal abad XIX dalam sistem kolonial yang mempertahankan struktur feodal masyarakat Indonesia kedudukan Bupati sangat berperan penting. Dalam sistem pemerintahan tak langsung bupati memegang peranan rangkap. Para Bupati tetap mempunyai kedudukan sebagai penguasa teratas di daerahnya, sekaligus sebagai perantara antara penguasa kolonial dengan rakyat.  Para pemilik tanah berkedudukan sebagai tuan tanah dan rakyat sebagai abdi yang harus tunduk terhadap apa yang diperintahkan oleh pemilik tanah. Sedangkan para pengusaha kolonial berkedudukan diatas pengusaha pribumi karena mereka memiliki modal yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pengusaha pribumi sendiri.
Perkembangan ekonomi sekitar pertengahan abad XIX menimbulkan fungsi-fungsi baru bagi pemerintahan, yaitu dengan berurusan pada bidang perkebunan, pertambangan, pekerjaan umum, dan lain-lain. Pada tahun 1855 didirikan departemen keuangan, pertambangan dan perkebunan, departemen hasil-hasil tanaman dan pergudangan, departemen kultur gubernemen, dan pekerjaan umum. Selanjutnya pada tahun 1866 dan 1870, mendirikan departemen administrasi, pendidikan, agama, dan industri, departemen kehakiman. Diferensiasi ini secara lambat laun terdapat pejabat-pejabat yang akan menempati atau bertugas sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sehingga bidang kepangreh prajanan mulai menyempit dan kekusaan bupati berkurang, karena tugas-tugas teknis dan spesialisasi bidang mulai dijalankan oleh pejabat-pejabat yang berwenang (Kartodirdjo, 1987: 346).
  

DAFTAR RUJUKAN



Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia

Ricklefs, M C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
http://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Batavia (online), diakses pada 26/ 09/ 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages