A. Republik
Bataaf
Republik Batavia (bahasa
Belanda: Bataafse Republiek)
adalah nama suatu republik yang didirikan di Belanda antara tahun 1795 sampai dengan 1806,
yang bentuknya mengikuti model Republik
Perancis. Republik Batavia diproklamasikan pada 19 Januari 1795,
yaitu sehari setelah walinegara Willem V, van
Oranje-Nassau melarikan
diri ke Inggris.
Kemudian pada tanggal 4 Maret, sebuah pohon simbol kebebasan ditanam di depan
Balai Kota Amsterdam.
Sejak
1581 Belanda berbentuk Republik, mengakhiri elit politik dari kaum aristokrat
pengusaha dan dinasti Oranje. Karena kekuasaan bertambah dan terpusat di
golongan yang semakin kecil, maka pada akhir abad ke-18 terjadi penentangan
terhadap struktur kekuasaan yang ada. Patriotten yang berorientasi pada pencerahan menuntut hak lebih dalam pengambilan
keputusan. Karena gagal dan campur tangan Prussia di Belanda, pada tahun 1787 mereka melarikan diri
ke Perancis. Republik Tujuh Provinsi Belanda yang bersatu bersikap netral di awal Peperangan Koalisi (Peperangan era Napoleon) Pertama melawan kaum revolusioner Perancis (1792-1797). Republik Tujuh Provinsi merupakan pemberi modal yang terpenting bagi Kerajaan Britania Raya, sedangkan Kerajaan Britania Raya merupakan musuh utama dari Revolusi Perancis. Hal ini mengakibatkan Belanda terlibat dalam konflik. Pada 1 Februari 1793, Perancis memaklumkan perang terhadap Belanda. Pada musim dingin 1794/ 1795 pasukan Perancis memasuki Belanda dan menguasai Amsterdam pada 20 Januari 1795. Para pelarian tahun 1780-an memproklamasikan Republik Batavia sebelum berakhirnya konflik. Ketika VOC di Indonesia mengalami krisis dana, di Benua Eropa sedang berlangsung Perang Koalisi (tahun 1792-1797), Perancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte dapat mengalahkan Austria, Prusia, Inggris, Spanyol, Sardinia, dan Belanda. Setelah itu, Belanda diambil alih oleh Perancis. Bentuk pemerintahan kerajaan pun diubah ke dalam bentuk Republik dengan nama Bataafsche Republiek (Republik Bataaf yang kemudian membubarkan VOC tanggal 31 Desember 1799).
ke Perancis. Republik Tujuh Provinsi Belanda yang bersatu bersikap netral di awal Peperangan Koalisi (Peperangan era Napoleon) Pertama melawan kaum revolusioner Perancis (1792-1797). Republik Tujuh Provinsi merupakan pemberi modal yang terpenting bagi Kerajaan Britania Raya, sedangkan Kerajaan Britania Raya merupakan musuh utama dari Revolusi Perancis. Hal ini mengakibatkan Belanda terlibat dalam konflik. Pada 1 Februari 1793, Perancis memaklumkan perang terhadap Belanda. Pada musim dingin 1794/ 1795 pasukan Perancis memasuki Belanda dan menguasai Amsterdam pada 20 Januari 1795. Para pelarian tahun 1780-an memproklamasikan Republik Batavia sebelum berakhirnya konflik. Ketika VOC di Indonesia mengalami krisis dana, di Benua Eropa sedang berlangsung Perang Koalisi (tahun 1792-1797), Perancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte dapat mengalahkan Austria, Prusia, Inggris, Spanyol, Sardinia, dan Belanda. Setelah itu, Belanda diambil alih oleh Perancis. Bentuk pemerintahan kerajaan pun diubah ke dalam bentuk Republik dengan nama Bataafsche Republiek (Republik Bataaf yang kemudian membubarkan VOC tanggal 31 Desember 1799).
Pada 16 Mei 1795, Perancis dan Republik
Batavia menandatangani Perjanjian Damai Den Haag;
Eksklave Maastricht, Venlo, Limburg dan
Vlaanderen yang dikuasai Perancis diintegrasikan dengan Belanda (sekarang
menjadi Belgia), dan
Republik Batavia harus mengakomodasi 30.000 pasukan Perancis di wilayahnya.
Kedua Republik juga mengadakan Perjanjian Pertahanan dan Aliansi Offensif dalam
pertempuran berikutnya melawan koalisi, terutama Austria dan Britania Raya.
Republik Batavia menetapkan
titik balik politik nasional: Suatu Negara
kesatuan di mana
ketika masih merupakan Negara Belanda Bersatu, Belanda hanyalah sebuah Federasi
dari beberapa negara kecil, di mana masing-masing negara menjalankan politik
dalam negerinya sendiri. Dan mulai dari Republik Batavia, Belanda memiliki
Pemerintahan yang terpusat. Politik luar negeri tidak dijalankan Republik ini
karena berada di bawah penguasaan Perancis. (http://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Batavia diakses
pada 26/ 09/ 2012).
B Kependudukan dan Sumber Kehidupan
Berdasarkan sumber
tertulis yang sangat langka mengenai kependudukan, ialah buku History of Java
tulisan Raffles, penduduk Jawa pada awal abad XIX berjumlah 4.615.270, di
antaranya lebih dari 1,5 juta hidup di daerah kerajaan dan kira-kira 3 juta ada
di daerah yang langsung diperintah oleh pihak kolonial. Pemencaran pemukiman
tidak merata, banyak daerah subur ditinggalkan penduduknya, banyak pemindahan
terjadi ke daerah kerajaan. Penduduk daerah Banyuwangi menurun dari 80 ribu
menjadi delapan ribu; begitu pula dari daerah Priangan di mana penduduk
dibebani dengan pelbagai kewajiban.
Perbandingan kelahiran
menurut sumber itu 1 dan 40, sedang perbandingan kematian adalah 1,49.
Selanjutnya dilaporkan bahwa satu cacah (keluarga) rata-rata terdiri atas 4
sampai 4,5 anggota. Jarang sekali ditemukan keluarga besar yang beranggotakan
lebih dari sepuluh orang. Pada awal abad XIX Jawa sudah merupakan daerah
agraris. Sebagian besar dari penduduknya hidup dari pertanian, termasuk
peternakan. Pertanian diusahakan secara tradisional, teknologi yang
dipergunakan juga bersifat tradisional memadai untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yang masih ada pada tingkat subsistensi (Kartodirdjo, 1987: 289).
Di Surabaya ada 129.938
jiwa, terdiri atas 33.141 keluarga di antaranya 32.618 keluarga termasuk
golongan petani dan 523 termasuk pekerja bidang lain. Luas daerah itu 1200 mil
persegi atau 34.955 jung, di antaranya hanya 20.000 yang ditanami. Jumlah desa
ada 2770, maka setiap desa rata-rata mendapat kira-kira 7 jung. Di Kedu jumlah
penduduk 197.310, jumlah desa 3879, luas tanah 19.052 jung, maka di daerah itu
pada setiap desa ada 5 jung. Pada tingkat subsistensi itu ketidaktahuan dan
aspirasi yang rendah, lagi pula ekonomi alamiah, tidak cukup bagi pemasaran
yang terbuka dan maju, maka produktivitas tetap rendah. Daerah persawahan sudah
luas, terdapat baik di lereng pegunungan maupun di tanah dataran rendah. Sistem
pengairan telah dikembangkan secara luas.
Di samping tanaman
padi, buah-buahan dan sayur-sayuran beraneka warna merupakan hasil pertanian
pula. Dikatakan bahwa kepala keluarga dengan dibantu oleh istrinya dapat
menghidupi 10-12 orang. Padahal besarnya keluarga pada umumnya kurang dari
separuh dari itu, sehingga ada surplus pendapatan untuk membeli kebutuhan lain,
seperti alat-alat pertanian, pakaian, dan barang-barang lain (Kartodirdjo,
1987: 290).
C. Dirk van
Hogendorp (1799-1808)
Dalam menghadapi
kondisi kehidupan rakyat yang serba terbelakang menurut kaum liberal kesemuanya
itu terutama disebabkan oleh sistem feodal yang mematikan semua hasrat rakyat.
Untuk mengatasi hal itu maka diusulkan oleh van Hogendorp agar kedudukan bupati
dan penguasa daerah lainnya diatur kembali., pemilikan atau penguasaan tanah
sebagai sumber pemerasan dicabut dan tanah dikembalikan kepada rakyat. Rakyat
diberi tanah untuk ditanami secara bebas, bebas memilih jenis tanaman serta
menyalurkannya dan bebas melakukan pekerjaan. Sebagai pengganti verplichte
leveranties (penyerahan wajib) diadakan pajak berupa hasil bumi dan uang
kepala. Dengan sistem baru itu diharapkan rakyat akan lebih giat menanam dan
menghasilkan kopi, beras, lada, kapas, coklat, dan minyak kelapa. Hal itu akan
mendorong perkembangan pemasaran, lagi pula kemajuan produksi ekspor
(Kartodirdjo, 1987: 291).
D. Herman Willem Daendels (1808-1811)
Keadaan yang masih berlaku saat VOC
berkuasa ialah bahwa para bupati dan pengasa daereah lainnya masih memegang
peranan dalam perdagangan. Sebagai perantara mereka memperoleh keuntungan,
antara lain berupa prosenan kultur yaitu berupa persentase tertentu dari harga
tafsiran penyerahan wajib dan kontingen yang dipungut dari rakyat.
Pada masa pemerintahan Daendels sistem
pemerintahan feodal dihapus. Hal tersebut untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan,
serta hak-hak Bupati mulai dibatasi, terutama yang menyangkut penguasaan tanah
dan pemakaian tenaga rakyat.
Maka dari itu terdapat beberapa kebijakan yang
dberlakukan selama masa pemerinahan Daendels (Kartodirdjo, 1987: 291), antara
lain:
a) Sistem
pasaran bebas tidak berkembang dan tidak muncul golongan pedagang.
b) Dalam
sistem feodal kedudukan bupati sangat kuat, sehingga setiap tindakan perubahan
tidak dapat berjalan tanpa kerjasama mereka. Kepemimpinannya berakar kuat dalam
masyarakat sehingga tidak mudah menggeser kedudukannya, bahkan untuk mengurangi
kekuasaan dan wewenangnya.
c) Terdapat
dalam tugas pemerintah Daendels sendiri yang perlu mempertahankan Pulau Jawa
terhadap serangan Inggris. Sehubungan dengan itu perhubungan di Jawa perlu
dibangun, antara lain pembuatan jalan raya yang menghubungakan dearah-daerah di
Jawa dari Anyer sampai Panarukan, kemudian terkenal sebagai Jalan Raya Pos
(Grote Postwege). Untuk keperluan pembangunan besar ini dibutuhkan tenaga
rakyat, maka dari itu wajib kerja (verplichte dienstern) dipertahankan.
Disamping itu wajib penyerahan juga masih berlaku, sehingga pada masa
pemerintahan Daendels sebenarnya sistem tradisional masih berjalan terus.
Sesuai dengan prinsip-prinsip kebijakannya Daendels
membatasi kekuasaan para raja, antara lain hak mengangkat penguasa daerah
diatur kembali, termasuk larangan untuk menjual belikan jabatan itu. Karena mengadakan
pemberontakan maka Kesultanan Banten dihapuskan.
Dengan dibangunnya Jalan Raya Pos diletakkannya
prasarana yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi, sosial, dan politik
Jawa, tidak hanya dalam bidang transportasi tetapi juga dalam administrasi
pemerintahan dan mobilitas sosial (Kartodirdjo, 1987: 292).
E. Thomas
Stamford Raffles (1811-1816)
Thomas
Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada 1811. Raffles
adalah seorang pembaharu dan penentang despotisme sebagaimana Daendels
(Ricklefs, 2001: 249). Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip
liberal seperti halnya pada Van Hogendorp, jadi Raffles hendak melakukan
politik kolonial yang mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip
kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan, keduanya akan menjamin adanya
kebebasan produksi untuk ekspor. Raffles bermaksud menerapkan politik kolonial
seperti yang dijalankan oleh Inggris di
India, menurut suatu sistem yang kemudian terkenal sebagai Sistem Pajak Tanah (Landerent
System).
Pokok-pokok
sistem yang diberlakukan oleh Raffles (Kartodirdjo,1987: 292-293), adalah
sebagai berikut:
a) Penghapusan
seluruh pengerahan wajib dan wajib kerja dengan memberi kebebasan penuh untuk
kultur dan berdagang.
b) Pemerintah
secara langsung mengawasi tanah-tanah, hasilnya secara langsung oleh pemerintah
tanpa perantara bupati yang tugasnya terbatas pada dinas-dinas umum.
c) Penyewaan
tanah di beberapa daerah dilakukan berdasarkan kontrak dan batas waktunya.
Pelaksanaan
politik pajak tanah yang dilakukan oleh Raffles bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat dengan memberikan kebebasan bagi mereka. Melalui
pelaksanaan politik liberal itu berarti sistem tradisional dan feodal perlu
digantikan dengan sistem baru yang didasarkan atas prinsip legal-rasionalitas.
Maka dari itu perubahan sistem birokrasi yang demikian perlu melakukan
pembaruan terhadap sistem yang diberlakukan oleh VOC mengenai pemungutan hasil
dan pengerahan tenaga rakyat.
Bagi
Raffles yang menjadi penghalang utama dalam melaksanakan sistem politiknya
ialah unsur feodal yang sangat kedudukannya dan sistem ekonomi yang bersifat
tertutup, sehinggga pembayaran pajak belum dapat dilakukan sepenuhnya dengan
uang. Bagi pihak Belanda faktor yang
sangat menentukan politik kolonialnya ialah keadaan ekonomi Negara Belanda
sendiri. Karena pada waktu itu di Negara Belanda masih bersifat agraris,
industri belum berkembang dan kemunduran-kemunduran ekonomi yang dialami
Belanda akibat dari perang Napoleon, maka dalam keadaan seperti itu politik
kolonial berdasarkan liberalisme tidak cocok dan tidak realitas untuk
diterapkan.
Setelah
Raffles menerapkan sistem pajak tanah yang dalam pelaksanaanya kurang efektif,
maka Raffles menerapkan Landerijk Stelsel yaitu jalan tengah diantara dua pilihan. Belanda akhirnya
mengambil langkah kembali ke sistem VOC dengan beberapa perubahan. Sistem VOC
tersebut terkenal dengan sebutan Cultuur Stelsel (Sistem tanam paksa)
(Kartodirdjo, 1987: 294).
F. Van der Capellen (1819-1826)
Masa Peralihan (1816–1830), peralihan kekuasaan dari tangan Inggris ke
tangan Belanda yang terjadi pada tahun 1816 ini menghadapkan Belanda pada
permasalahan sistem mana yang akan diterapkan di Indonesia agar keuntungan
secara ekonomi tetap didapatkan. Terjadinya perubahan politik yang diakibatkan
oleh peristiwa-peristiwa di Eropa mendorong Inggris dan Belanda mengadakan
perundingan di London.
Berikut ini ketetapan berdasarkan Convention of London (1814):
a) Semua bekas
jajahan Belanda yang dikuasai Inggris dikembalikan kepada Belanda, kecuali
Afrika Selatan, Ceylon, dan beberapa tempat di India.
b) Akan dibentuk
komisi yang dipimpin oleh Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der
Capelen. Komisi ini bertugas memperbaiki ekonomi Indonesia, membayar
utang-utang Belanda, dan mengambil piutangnya.
c) Pemerintah
Belanda mendirikan Nederlandsche
Handels Maatschappij (serikat dagang Belanda satu-satunya yang
berhak mengekspor hasil bumi yang dihasilkan dari tanam paksa) yang mendapatkan
bantuan dari pemerintah Belanda dan Eropa.
Sejak tahun 1816 Indonesia diserahkan kembali kepada
Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Van der Capellen. Pada waktu Van der Capellen menerima jabatan
sebagai Gubernur Jendral peran bupati sudah sangat berkurang dibanding pada
zaman VOC. Namun Van der Capellen menyadari bahwa para bupati mempunyai
pengaruh yang besar bagi rakyat dan dia juga menyadari pejabat Eropa tidak akan
sanggup menggantikan kedudukan sosial dalam masyarakat Jawa. Ditinjau dari
tujuannya yaitu untuk meningkatkan kemakmuran rakyat di Jawa dan merangsang
produksi tanaman dagangan, sistem sewa tanah dapat dikatakan telah menuai
kegagalan. Usaha-usaha untuk mengganti strukur masyarakat yang tradisional
(feodal) dan memberikan kepastian hukum pada para petani pun tidak berhasil.
Van der Capellen pada tahun 1823 membuat kebijakan
menghentikan dan menghapus penyelewengan tanah swasta di Jawa Tengah (Ricklefs,
2001: 254). Kebijakan tersebut merugikan para bangsawan pribumi, karena mereka
harus membayar ganti rugi dan uang sewa yang harus dibayarkan pada para
pengusaha Eropa dan Cina. Inilah salah satu faktor penyebab munculnya
pemberontakan dari para bangsawan di Jawa Tengah.
Untuk memperoleh sumbangan keuangan baik Daendels
maupun Raffles, meskipun tidak konsekuen dengan prinsipnya, menjual dan
menyewakan desa kepada non pribumi, ialah bangsa Eropa, Cina, Arab. Di daerah kerajaan
raja-raja bangsawan dan pejabat mendapat kebebasan juga menyewakan tanah kepada
bangsa Eropa. Van der Capellen menentang sistem ini oleh karena bersama dengan
penyewaan desa atau tanah, tenaga rakyat dapat digunakan oleh penyewa.
Akibatnya ialah bahwa dengan demikian eksploitasi rakyat oleh penyewa dapat merajalela tidak kurang dari pada
lingkungan tradisional atau feodal (Kartodirdjo, 1987: 337).
G. L. P. J. Du Bus de Gisignies (1826—1830)
Sesuai dengan politik Raja Willem I yang bercap
liberal pada tahun 1825 diangkatlah du Bus, seorang kapitalis Belgia terkemuka,
sebagai pengganti van der Capellen. Konsepnya tentang politik kolonial sejalan
dengan konsep Willem I, ialah kebebasan penanaman bersama dengan meningkatkan
produksi untuk ekspor sebagai dasar guna memajukan perdagangan dan pajak tanah.
Menurut du Bus peningkatan produksi akan menambah kemampuan pribumi untuk
membeli, berbeda dengan Raffles yang beranggapan bahwa perbaikan kesejahteraan
rakyatlah yang dapat meningkatkan daya belinya.
Dalam pelaksanaan ekonomi politiknya du Bus
mengalami hambatan-hambatan, seperti:
a) Tanah
yang telah digarap di Jawa baru 1/4 atau 1/8
dari luas keseluruhannya.
b) Pribumi
tidak mempunyai hasrat membuka tanah baru karena cukup hidup dari penanaman
padi pada sebidang tanah sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Politik du Bus memerlukan tanah dan tenaga
rakyat ditambah modal kaum Eropa, ketiga faktor itu akan membuat produksi
ekspor. Tanah di sini yang dimaksud ialah tanah yang belum dipergunakan oleh
pribumi tetapi yang terletak tidak jauh dari desa-desa agar mudah menarik
tenaga kerja yang bebas di luar musim tanam dan panen; baik dari pemilik,
penggarap tanah, ataupun buruh tani. Perencanaan politik du Bus bernada sangat
optimistis terutama mengenai mentalitas pribumi yang akan meningkatkan taraf
hidupnya setelah diberi dorongan berproduksi lebih besar. Lagi pula kurang
disadarinya bahwa struktur feodal serta ikatan tradisional di pedesaan masih
sangat kuat sehingga kurang pasti apakah tenaga kerja dapat ditarik ke
perkebunan Eropa itu. Sehubungan dengan itu perlu ditambahkan bahwa solidaritas
di desa masih sangat kuat sehingga perkembangan kemajuan ataupun kesejahteraan
perseorangan tidak mudah timbul. Di samping itu struktur sosial di pedesaan
sedemikian hingga dalam masalah transaksi dengan dunia luar desa petani sangat
tergantung pada perantara-perantara, baik bupati dan lurah ataupun tengkulak
dan pemberi utang. Hasil dari politik du Bus ialah kemerosotan pemasukan pajak
tanah pada satu pihak dan tidak tampaknya kemajuan hasil ekspor, seperti kopi,
gula dan indigo.
Persepsi baik dari Raffles maupun du Bus
ternyata sangat dipengaruhi oleh ideologi liberalisme mereka; pada umumnya
bernada sangat optimistis mengenai mentalitas rakyat pribumi, maka ekonomi politiknya
meleset dan banyak mengahadapi hambatan serta kegagalan. Struktur agraris Pulau
Jawa dengan tradisi kuat dan feodalisme yang berakar dalam, tidak memungkinkan
prinsip kebebasan individu, perdagangan, dan kepastian hukum dalam
pemerintahannya (Kartodirdjo, 1987: 338).
H. Sistem Pemerintahan dan Birokrasi pada Masa
Kolonial
Pada
zaman kerajaan Mataram, para Bupati adalah pemegang dan pelaksana pemerintahan
di daerah (ministeriales) yang mendapat otoritas dari kekuasaan pusat kerajaan.
Otoritas itu tidak didasarkan atas pewarisan melainkan atas posisi yang
diduduki dalam struktur kekuasaan dalam kerajaan. Waktu VOC (selanjurnya
disebut Kumpeni) memperoleh kekuasaan di daerah pesisir, yang menganggap
dirinya sebagai yang berdaulat serta menetapkan hubungannya dengan bupati,
seperti hubungan antara raja dan bupatinya (Kartodirdjo, 1987: 339). Kehidupan
rakyat tradisional sistem ekonominya belum sepenuhnya terbuka, hubungan
masyarakat masih bersifat komunal, solidaritasnya berdasarkan perasaan. Maka
dalam masyarakat tersebut berkembang sistem tukar menukar tenaga dan jasa
berdasarkan prinsip timbal balik atau biasa dikenal dengan suatu sistem
sumbangan rewang, tolong-menolong, punjungan,
atau apa yang lazim secara umum disebut gotong
royong. Berdasarkan ikatan ini untuk
banyak usaha produksi tidak diperlukan uang sebagai upah, tenaga dapat
dikerahkan menurut prinsip penukaran. Dengan demikian tenaga sebagai modal
belum bebas dari keterikatan tradisi di desa.
Pengawasan
dan pemeriksaan semakin mempersempit wewenang bupati. Bupati dipandangnya
sebagai vasal yang dapat memetik hasil daerahnya atas kemurahan Kumpeni.
Disebut pula bupati sebagai “bawahan dari sekutu”. Meskipun Kumpeni semakin
memperbesar ketergantungan bupati padanya, akan tetapi dukungannya menempatkan
bupati pada kedudukan yang semakin berkuasa di daerahnya. Pada tahun 1803
Panitia Perdagangan dan pemerintahan menyarankan agar bupati dipertahankan
dalam kedudukannya serta dimantapkan otoritas serta hak istimewanya, tidak lain
karena fungsi mereka tidak dapat disisihkan, yaitu sebagai perantara dalam
pungutan-pungutan. Selaras dengan politiknya, Daendels memberikan kepada bupati
sebagai pegawai yang diangkat oleh gubernur dan diberi gaji, bertugas sebagai
pelaksana serta bertanggungjawab kepada pemerintah. Penggajian tidak dapat
dilaksanakan dengan cara baru, terpaksa tetap menurut aturan tradisional, yaitu
dengan menerima sepersepuluh dari hasil panen ditambah dengan penghasilan yang
menjadi haknya menurut adat-istiadat daerah (Kartodirdjo, 1987: 340).
Memanfaatkan rakyatnya untuk bekerja lebih keras lagi agar mendapatkan
keuntungan yang besar dapat dilakukan oleh bupati yang serakah terhadap
rakyatnya sendiri. Semua itu atas dasar kepentingan pribadi. Pada masa kolonial
yang bertujuan untuk menguasai daerah jajahan yang dapat menghasilkan dan
menjamin adanya keuntungan bagi negeri induk, maka sistem yang paling sesuai
untuk menjalankan pemerintahannya, penguasa kolonial memakai sistem
pemerintahan tak langsung. Hal ini sesuai struktur kekuasaan tradisional yaitu
sistem feodal.
Dalam pelaksanaan birokratisasi oleh Raffles
dan kemudian para Komisaris Jenderal, kondisi masyarakat menjadi penghambat
sehingga terpaksa kembali ke sistem lama. Para Komisaris Jenderal menambah
peraturan-peraturan, antara lain pada tahun 1819 larangan berdagang bagi
bupati, disusul kemudian larangan menguasai tanah kedudukan.
Peraturan-peraturan pemerintah yang dibuat diatas kertas sejak Daendels, belum
dapat dilaksanakan antara lain karena masih terdapat banyak perbedaan pendapat
mengenai posisi bupati, lagi pula uniformitas untuk seluruh Jawa menghadapi
hambatan dengan adanya perbedaan adat dan keadaan di pelbagai daerah, yang
menyebabkan Raffles mengalami kesulitan dalam menjalankan sistem pajak
tanahnya. Peranan feodal kepada bupati merupakan cara ia untuk memperoleh
keuntungan dari Indonesia. Padahal, jika dilihat dari prakteknya dalam dua
puluh tahun yang lalu pemerintah tidak peduli terhadap humanitarianisme seperti
yang dijunjung tinggi di Eropa, bahkan perhatian lebih banyak dicurahkan kepada
para bupati.
Van den Bosch juga menginstruksikan agar para
bupati diperlakukan dengan hormat, diperhatikan kesulitannya dalam bidang
keuangan, serta dikabulkan permintaan mereka akan milik tanah. Sikap yang sama
tercermin dalam peraturan 1836 dari Baud yang juga menjamin posisi sosial para
bupati antara lain memperkuat hak pewarisan pangkat dalam keluarga
(Kartodirdjo, 1987: 342).
Kontradiksi antara prinsip gubernemen dengan
keadaan masyarakat yang sebenarnya belum diatasi dalam RR 1854, yang
mempertahankan status quo yang mana lembaga lama perlu dihormati dan rakyat
perlu diperintah oleh kepala-kepalanya sendiri, serta bupati perlu menunjukkan
kesetiaannya kepada pemerintah Hindia Belanda. Maka selama bagian kedua abad
XIX birokrasi modern belum mantap, yaitu dualisme yang ada menonjolkan
bentuk-bentuk tradisional setengahnya modern, setengahnya feodal.
Suatu langkah penting dalam proses pelembagaan
pangreh praja dilakukan dengan penyusunan hierarki bagian Eropa dan sejajar
dengan itu pembagian wilayah-wilayahnya. Antara tahun 1830 dan 1870 jumlah
Asisten Residen (AR) sudah berlipat dua. Seorang AR dibantu oleh seorang
kontrolir (controleur), seorang pejabat yang dalam prakteknya ternyata
mempunyai kesempatan langsung berhubungan dengan rakyat di pedesaan. Pada tahun
1874 diangkat patih di setiap kabupaten dan di setiap afdeling dimana tidak ada
bupati. Semua tingkatan disusun berdasarkan penilaian, sehingga para anggota
pangreh praja mendapat kedudukan sebagai pegawai, bukan lagi sebagai penguasa
setempat dengan segala fungsi dan hak-hak tradisionalnya.
Dengan merosotnya perdagangan di pantai Utara
Jawa, maka monopoli dagang dipegang oleh kumpeni, struktur feodal menjadi kuat
karena jatuh kembalinya masyarakat ke struktur agraris. Dengan sistem
verplichte leveranties serta contingenten, kumpeni tidak hanya mengeksploitasi
struktur feodal bagi kepentingannya sendiri tetapi juga memperkuatnya. Pada
masa transisi sewaktu ada pemindahan kekuasaan dari kumpeni kepada pemerintah
Hindia Belanda maka kekuasaan bupati ada pada puncaknya. Gaya hidupnya memberi
persaksian mengenai segala kebesaran yang melingkupi bupati. Sementara itu
proses komersialisasi dengan monetisasinya serta industrialisasi petanian
menghendaki perubahan struktural masyarakat, dengan mengganti pemerintahan tak
langsung (indirect rule), yaitu tidak dirumuskan hak-hak dan kewajiban serta
tanggung jawab bupati oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi pemerintah
langsung (direct rule), otoritas tradisional diganti otoritas legal rasional.
Dengan demikian birokratisasi pemerintahan menjalankan fungsi penting dalam
perubahan, struktural masyarakat (Kartodirdjo, 1987: 343).
Status bupati dalam lingkungan tradisional
adalah status askriptif (suatu keadaan yang tidak dapat ditemukan dalam
birokrasi modern dimana untuk memenuhi standar tertentu diperlukan status yang
dicapainya dengan usaha “achieved status”). Langkah-langkah penting yang
mendorong ke arah modernisasi birokrasi adalah pendirian sekolah-sekolah bagi
calon pangreh praja dan penilaian para anggotanya, yaitu dengan cara
conduite-staat (catatan tentang keadaan pekerjaan seorang pegawai). Jelas bahwa
yang berhak untuk mengikuti sekolah ini adalah dari keturunan pegawai, rakyat
kecil tidak boleh mendapatkan hak untuk sekolah. Memang sikap modernisasi
diterapkan dalam Indonesia, tetapi belum sepenuhnya dapat menyentuh rakyat
kecil, mereka yang berpendidikan rendah atau penghasilan sedikit tidak semuanya
mendapatkan kesempatan untuk sekolah.
Langkah penting dalam birokratisasi adalah
proses pengakuan hukum untuk melindungi hak-hak rakyat. Menurut peraturan yang
berlaku sampai tahun 1848 residen mempunyai tugas juga sebagai polisi dan
hakim. Pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan komunikasinya serta perkembangan
perkebunannya menimbulkan kompleksitas dan diferensiasi sosial. Ini berarti
bahwa pemerintahan daerah semakin mengalami birokratisasi (Kartodirdjo, 1987:
345).
Sejak pertengahan abad XIX pangreh praja baru
mulai mengalami proses itu secara nyata, sebab gagasan mengenai itu yang muncul
sejak awal abad tersebut baru dirumuskan diatas kertas. Selama abad XIX
aristokrasi tradisional dapat menjalankan kepemimpinannya dengan menyesuaikan
diri kepada struktur pemerintahan kolonial. Seperti halnya pada masa VOC dan
STP, bupati ada dalam kedudukan yang kuat. Pada satu pihak otoritasnya tidak
diganggu gugat oleh Belanda, karena pihak Belanda tidak mau mencampuri urusan
bupati atau berhubungan langsung dengan rakyat. Dengan kata lain, bupati
berkuasa atas otoritas dalam struktur feodal. Maka dari itu struktur
administrasi pribumi masih sama dengan apa yang terdapat dalam masyarakat
feodal (Kartodirdjo, 1987: 346).
Bagi kedudukan bupati itu berarti bahwa
lingkungan pemerintahannya yang terpisah dari lingkungan pemerintahan BB Eropa
akan semakin diintegrasikan ke dalam lingkungan yang terakhir. Bupati tidak
lagi sebagai “saudara muda” tetapi hanya sebagai pegawai pemerintahan. Segala
hak dan kewajibannya akan diberi batasan terumuskan secara tegas sesuai dengan
prinsip birokrasi modern. Otoritas tradisionalnya berubah menjadi otoritas
modern. Hal ini menjelaskan bahwa kedudukan bupati saat ini tidak lagi sebagai
penguasa tunggal dalam wilayahnya, tidak ada lagi kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh bupati terhadap rakyatnya. Semua berada dibawah peraturan pihak
Belanda.
Pada awal abad XIX dalam sistem kolonial yang
mempertahankan struktur feodal masyarakat Indonesia kedudukan Bupati sangat
berperan penting. Dalam sistem pemerintahan tak langsung bupati memegang
peranan rangkap. Para Bupati tetap mempunyai kedudukan sebagai penguasa teratas
di daerahnya, sekaligus sebagai perantara antara penguasa kolonial dengan
rakyat. Para pemilik tanah berkedudukan
sebagai tuan tanah dan rakyat sebagai abdi
yang harus tunduk terhadap apa yang diperintahkan oleh pemilik tanah. Sedangkan
para pengusaha kolonial berkedudukan diatas pengusaha pribumi karena mereka
memiliki modal yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pengusaha pribumi
sendiri.
Perkembangan ekonomi sekitar pertengahan abad
XIX menimbulkan fungsi-fungsi baru bagi pemerintahan, yaitu dengan berurusan
pada bidang perkebunan, pertambangan, pekerjaan umum, dan lain-lain. Pada tahun
1855 didirikan departemen keuangan, pertambangan dan perkebunan, departemen
hasil-hasil tanaman dan pergudangan, departemen kultur gubernemen, dan
pekerjaan umum. Selanjutnya pada tahun 1866 dan 1870, mendirikan departemen
administrasi, pendidikan, agama, dan industri, departemen kehakiman.
Diferensiasi ini secara lambat laun terdapat pejabat-pejabat yang akan menempati
atau bertugas sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sehingga bidang kepangreh
prajanan mulai menyempit dan kekusaan bupati berkurang, karena tugas-tugas
teknis dan spesialisasi bidang mulai dijalankan oleh pejabat-pejabat yang
berwenang (Kartodirdjo, 1987: 346).
DAFTAR RUJUKAN
Kartodirdjo,
Sartono. 1987. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: PT
Gramedia
Ricklefs, M C.
2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta
http://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Batavia (online), diakses
pada 26/ 09/ 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar