Tanah Papua sangat kaya, tembaga dan emas
merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua
terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia dan berbagai tambang
dan kekayaan alam yang begitu berlimpah. Bumi Papua atau Bumi Cenderawasih
memang subur dan kaya mulai kekayaan bahari, kebudayaan, emas, tembaga dan
mineral lainnya. Provinsi Papua yang terletak di ujung timur negara
Indonesia memiliki banyak kebudayaan yang unik dan menarik, seperti alat
musik tradisionalnya, tarian tradisional, rumah tradisional, pakaian dan
kesenian lainnya yang terdapat di Papua. Namun kehidupan masyarakat papua
tidaklah sekaya potensi alam dan kebudayaan yang mereka miliki. Jika dikelola
dengan baik, mungkin orang Papua pun bisa lebih makmur dengan kekayan alam yang
melimpah tersebut.
Sumber daya alamnya yaitu emas, dikuasai oleh
asing yaitu Freeport McMoRan (Amerika). Freeport McMoRan menguasai 90.64% saham
PT Freeport Indonesia dimana sisanya dikuasai oleh pemerintah Indonesia.
Masyarakat Papua tidak mendapat apa-apa
dari kekayaan tambangnya yang ada dihalaman rumahnya sendiri. Rakyat Papua
hanya menerima dampaknya yang negatif yaitu konflik. Sedangkan konflik tersebut
harus berhadapan dengan oknum ABRI (sekarang TNI). Banyak korban jiwa dalam
konflik yang dibelakangnya ada kepentingan ekonomi para elite militer di Papua.
Bisnis proteksi atau bisnis penjagaan keamanan telah berlaku sejak lama dan
masih berlaku sampai sekarang. Hal ini dilakukakan karena PT Freeport Indonesia
tidak ingin terganggu produksi tambangnya karena adanya konflik yang ada di
Papua.
PT Freeport Indonesia mengeluarkan dananya
untuk biaya proteksi, dalam hal ini PT Freeport membayar biaya keamanan kepada
militer. Menurut Aditjondro (2006) dalam Azzelini (2005: 237) menjelaskan bahwa
PT Freeport Indonesia (PT FI) pada tahun 2001 telah membayar 4.7000.000 Dollar
AS dan pada tahun 2002 dinaikkan menjadi 5.600.000 dolar AS.
A. AWAL MULA KONTRAK KARYA PT FREEPORT INDONESIA
DENGAN REPUBLIK INDONESIA
Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan
cadangan Ertsberg atau disebut gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini
dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama bertemulah seorang Jan Van Gruisen –
Managing Director perusahaan Oost Maatchappij, yang mengeksploitasi batu bara
di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson,
seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi
utamanya ketika itu adalah menambang belerang di bawah dasar laut. Kemudian Van
Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung bijih
serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisanya serta melakukan penilaian
(Taufik, 2013).
Di awal periode pemerintahan Soeharto,
pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata
demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan kondisi ekonomi nasional
yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil
langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun
1967). Pimpinan tertinggi Freeport di masa itu adalah Langbourne Williams
melihat peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia melakukan pertemuan
dengan Jendral Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri
Pertambangan dan Perminyakan Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. Inti
dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar Freeport dapat meneruskan
proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang panjang
Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada
tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I).
Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan
belantara. Pada awal Freeport mulai beroperasi, banyak penduduk yang pada
awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke wilayah sekitar tambang Freeport
sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat. Tahun 1970 pemerintah dan
Freeport secara bersama-sama membangun rumah-rumah penduduk yang layak di jalan
Kamuki. Kemudian dibangun juga perumahan penduduk di sekitar selatan Bandar
Udara yang sekarang menjadi Kota Timika.
Di tahun 1971 Freeport membangun Bandar Udara
Timika dan pusat perbekalan, kemudian juga membangun jalan-jalan utama sebagai
akses ke tambang dan juga jalan-jalan di daerah terpencil sebagai akses ke
desa-desa Tahun 1972, Presiden Soeharto menamakan kota yang dibangun secara
bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama Tembagapura.
Menurut Natkime (2006: 2) menjelaskan bahwa rezim
Militeristik Orde Baru mendukung upaya investasi Freeport di Papua melalui dua
produk hukumnya yakni, Undang Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (UUPMA) dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan. Inilah dasar bagi Kontrak Karya (KK) I, 5 April 1967 dan berlaku
selama 30 tahun, terhitung sejak eksplorasi Erstberg, Desember. Namun, KK I ini
ilegal, karena terjadi dua tahun sebelum Pepera dan PBB pun belum mengakui
Papua sebagai wilayah Indonesia. “ Mohammad Sadly, salah satu anggota kabinet
Soeharto menyebutkan, melalui ditandatanganinya persetujuan dengan Freeport,
Jakarta berharap memperoleh dukungan militer dan ekonomi, serta kebijakan
politik garansi dari penguasa ekonomi terbesar dan terkuat dunia, yaitu Amerika
Serikat. Disamping penghargaan politik pragmatis, kepentingan ekonomi Orde Baru
merupakan faktor terpenting pemicu pemberian jalan kepada Freeport untuk
beroperasi di Papua Barat, padahal studi kelayakan proyek ini selesai dan
disetujui pada bulan Desember 1969.” Saat ini, aktivitas eksploitasi dijalankan
sesuai KK II yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 untuk jangka
waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 10
tahun. Namun KK II inipun mengandung unsur Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Sebab
dilakukan 6 tahun sebelum KK I berakhir, sangat tertutup, dan tidak melalui
konsultasi dengan komunitas masyarakat pemilik hak ulayat.
B. KERJASAMA DIBIDANG KEAMANAN ANTARA PT FREEPORT
DENGAN APARAT KEAMANAN REPUBLIK INDONESIA
Rezim militer Orde Baru Soeharto menjadikan
Papua sebagai daerah kekuasaan militer, terutama Angkatan Darat. Kesan seperti
itu sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi militer di Kodam dan
jajarannya mendominasi politik dan jalannya pemerintahan di Papua. Cengkraman
AD atas Papua kian kuat karena adanya dwifungsi ABRI dan dijadikannya Papua
sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) (Rahab, 2006: 3).
Dengan semangat berdwifungsi, obsesi utama
semua pimpinan militer Indonesia, khususnya di jajaran Kodam Trikora dan di
Pemda Papua alah menghancurkan apa yang mereka sebut gerombolan bersenjata OPM.
Obsesi penghancuran OPM itu juga dimotivasi oleh kepetingan ekonomi dan
politik. Secara politik petinggi AD, seperti Pangdam, Danrem, dan Dandim adalah
juga Ketua Pembina Golkar di wilayahnya. Secara ekonomi, semua perusahaan besar
di Papua dikategorikan sebagai objek vital nasional. Artinya perusahaan-perusahaan
itu berada di bawah naungan militer untuk keamanannya. Untuk itu,
perusahaan-perusahaan harus menyetor sejumlah uang (Rahab, 2006: 3).
Pada gilirannya dalam setiap kepala pimpinan
dan anggota ABRI, semua orang Papua adalah separatis, kecuali orang itu bisa
menunjukkan dirinya bukan separatis. Untuk motivasi ini, OPM yang selalu kecil
kekuatannya selalu dikampanyekan sebagai ancaman serius bagi NKRI. Obsesi itu
tumbuh dari cara pandang yang melihat gerakan menuntut pengakuan identitas
politik Papua sekadar masalah "bom waktu yang ditinggalkan Belanda"
atau bush dari hasutan kelompok separates, bukan merupakan persoalan mendasar
yang berkaitan dengan rasa keadilan dan harga dire orang Papua. Maka dari itu
untuk mengenyahkan "hantu OPM" itu, kebijakan yang diambil di Papua
adalah menghancurkan OPM secara fisik (membunuh) dengan menggelar operasi
militer berkesinambungan (DOM) dari tahun ke tahun (Rahab, 2006: 4).
Karena alasan keamananlah Militer terutama
Angkatan darat memonopoli politik, ekonomi, dan keamanan di Papua. Serta pihak
kepolisian juga ikut andil dalam hal ini. Jadi tidak jarang kalau ada polisi
ataupun tentara tertembak. Mungkin karena persaingan antara kedua aparat
keamanan negara tersebut. Selama ini OPM (Organisasi Papua Merdeka) lah yang
dijadikan kambing hitam. Jadi kegiatan bisnis proteksi para oknum baik tentara
ataupun polisi kasak mata. Seolah-olah OPM yang menjadi aktor dari semua itu. Sudah
menjadi hal yang biasa apabila terjadi penembakan pelakunya tidak terdeteksi. Bahkan
kalau terdeteksipun masih ditutupi karena pelakunya ada bagian dari aparat
keamanan negara, baik tentara maupun polisi. Tentunya ada kepentingan ekonomi
dibalik itu.
Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit
pengamanannya sendiri, sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis
yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai
saling terkait. Tidak ada investigasi yang menemukan keterkaitan Freeport secara
langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua
yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh
TNI, dan pada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan
fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang
pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari
Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh
militer antara tahun 1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya (Saripedia,
2011).
Konflik antara OPM dengan NKRI sama halnya
antara konflik antara OPM dengan PT Freeport. Apabila Papua benar-benar merdeka,
itu akan mengancam masa depan PT Freeport. Karena Kontrak Karya dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport McMoRan (induk perusahaan PT FI), tidak
berlaku jika Papua menjadi negara merdeka. Sedangkan kepentingan NKRI ialah ada
pada penyelesaian konfliknya. Semakin banyak konflik yang ada di Papua. Semakin
banyak imbalan yang akan mereka dapatkan dari PT Freeport Indonesia (PT FI). Hal
itu terbukti pada tahun 2001 PT FI membayar para aparat keamanan sebesar
4.700.000 dolar Amerika. Dan pada tahun selanjutnya mingkat menjadi 5.600.000
dolar Amerika.
C. BISNIS TERSELUBUNG APARAT KEAMANAN RI (BISNIS
PROTEKSI)
Menurut Natkime (2006) Rezim Militeristik Orde
Baru telah menjamin berjalannya investasi perusahaan ini, hampir tanpa protes
yang berarti selama bertahun-tahun, meski perusahaan ini terindikasi melakukan
kejahatan ekonomi, kejahatan kemanusiaan, perusakan lingkungan dan
pelanggaran-pelanggaran lainnya. Kalaupun ada protes dari masyarakat, dengan
cepat dan tanpa ampun tentara akan menghadapinya dengan pendekatan-pendekatan
militer. Pada peristiwa 77 yakni sebuah protes masyarakat yang dilakukan pada
tahun 1977 dengan mencoba memotong pipa aliran konsentrat di Tembagapura, telah
berbuntut pada tindak kekerasan ABRI yang membekas di hati masyarakat. Erstberg
(Nemangkawi), Greesberg, dan gunung-gunung salju lainnya yang mengandung
sejumlah besar mineral berharga bagi komoditi pasar dunia telah menjadi tujuan
yang sangat penting bagi AS, blok modalnya, serta pemerintah Indonesia selama
tanah ini masih dikuasai mereka. Untuk tujuan itu, hak-hak dasar orang Papua
telah lama dikorbankan. Inilah satu diantara sekian akar persoalan yang terus
menghiasi gejolak perlawanan rakyat di Kota Timika juga di seluruh tanah Papua.
Areal Konsensi PT Freeport dan Kota Timika adalah daerah yang tidak pernah
luput dari drama kekerasan, sejak perusahaan tambang raksasa itu menancapkan
cakarnya di tanah Amungsa puluhan tahun yang lalu.
Setoran seratus milyar rupiah kepada TNI pad
tahun 2001—2002 menimbulkan debat publik yang sengit. Militer sibuk membantah
dan parlemen meminta klarifikasi. Sedangkan pihak PT FI melalui juru bicaranya Sidharta
Moersyid, menegasakan bahwa PT FI sudah membayar biaya pengamanan kepada aparat
keamanan RI sejak perusahaan itu mulai beroperasi pada tahun 1970an (Azellini,
2005: 237). Jadi sejak awal berdirinya PT FI, PT FI sudah menggandeng ABRI
(sekarang TNI) hingga sekarang. Karena peran dan monopoli Militer di Papua
sangat kuat.
Demi keamanan Freeport, pemilik tekun membina
persahabatan dengan Soeharto dan kroninya. Freeport membayar ongkos-ongkos
mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat
kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Dimana
antara 1998-2006, Freeport telah memberikan 30 juta dolar (sekitar Rp 274
miliar) kepa jenderal, kolonel, mayor, dan kapten tentara maupun polisi,
dan unit-unit militer. Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar
untuk membangun infrastruktur militer dan perusahaan juga memberikan para komandan
70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa
tahun (Leith 2000: 330).
Untuk mempertahankan biaya proteksi yang
tinggi, kesan kerawanan Tanah Papua harus tetap dipertahankan. Dalam hal ini,
pergeseran prakarsa perjuangan kemerdekaan Tanah Papua dari Kelly Kwalik yang
merupakan panglima Tepenal setempat ke Dewan Presidium Papua, merupakan hal
yang merugikan fihak tentara. Sebab dengan pergeseran taktik dari perjuangan
bersenjata, dengan sewaktu-waktu menculik orang asing yang masuk ke hutan, ke
demonstrasi dan pawai-pawai damai di kota, di mana tidak ada orang asing yang
terbunuh, merusak citra daerah rawan itu. Belum lagi, pergeseran tugas
pengamanan dari fihak tentara ke polisi.
D. DAMPAK KERJASAMA PT FREEPORT DENGAN APARAT
KEAMANAN REPUBLIK INDONESIA
Banyak orang berasumsi, kehadiran perusahaan
pertambangan di suatu daerah niscaya membawa kemajuan terhadap warga di
sekitarnya. Asumsi ini lahir dari sebuah pengandaian yang menyatakan, berdiri
atau beroperasinya sebuah pertambangan di suatu daerah akan menghadirkan
kehidupan yang lebih sejahtera, keamanan yang terjamin, dan kehidupan sosial yang
lebih baik. Pemikiran demikian didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan pertambangan
merupakan agen perubahan sosial-ekonomi bagi masyarakat di sekitar lokasi pertambangan.
Asumsinya, perusahaan pertambangan akan membawa serta arus investasi, membongkar
isolasi warga, dan membuka akses masyarakat terhadap dunia luar. Dengan kehadiran
perusahaan pertambangan, akan dibangun berbagai infrastruktur yang diperlukan masyarakat,
seperti jalan, aliran listrik, air bersih, transportasi, dan jaringan
komunikasi. Namun, asumsi seperti yang diuraikan di atas, saat ini perlu diubah
total. Hal ini disebabkan, hingga saat ini di berbagai lokasi pertambangan di
Indonesia, asumsi seperti itu tidak pernah menjadi kenyataan. Dalam kerangka
pikir yang demikian itu, satu hal yang perlu ditekankan, tetapi karap kali
dilupakan, sebuahperusahaan pertambangan pada hakikatnya adalah pengejawantahan
dari sistem ekonomi kapitalistis dunia. Kehadiran Freeport pada dasarnya
merupakan penetrasi sistem kapitalisme yang eksploitatif ke dalam kehidupan
suku Amungme. Tujuan utama perusahaan pertambangan tidak lain hanyalah
mengeksploitasi sumber daya alam dan menaklukkan manusia setempat, baik secara
sosial-budaya maupun secara ekonomi-politik (Amiruddin, 2003: 1).
Suku Amungme menyatakan, segala persoalan yang muncul
akibat kehadiran Freeport di Timika harus diselesaikan dengan melibatkan semua
pihak yang berkepentingan, yakni suku Amungme, pemerintah RI, dan Freeport.
Ketiga pihak tersebut harus duduk semeja membicarakan seluruh persoalan dan
konflik yang terjadi selama ini. Tanpa itu, menurut para pemimpin suku Amungme,
segala upaya penyelesaian akan berakhir sia-sia karena segala sesuatunya akan
selalu diputuskan oleh pihak luar yang sebagian besar tak pernah menginjakkan
kakinya di Timika. Pihak luar itu juga belum tentu mengenali kehidupan dan
penderitaan suku Amungme di bawah cengkeraman Freeport selama 30 tahun lebih. Bahkan,
secara tegas warga sa at ini telah mengungkapkan sikap kritisnya bahwa kehadiran
Freeport hampir tidak membawa perbaikan hidup terhadap mereka. Kehadiran ribuan
aparat keamanan di Timika, menurut masyarakat, pun hanya sekadar menjaga
Freeport, dan bukan untuk melindungi warga dari ancaman bahaya. Penilaian
seperti ini disebabkan, ketika terjadi beberapa kali konflikantarmasyarakat di
Timika, aparat keamanan seakan membiarkan konflik itu berlangsung (Amiruddin,
2003: 2).
Dengan lugas mereka mengungkapkan, setiap kali
bertemu dengan para pejabat dan pimpinan Freeport, mereka hanya minta,
"Pandanglah kami sebagai manusia!" Permintaan tersebut mengisyaratkan
bahwa selama ini, baik Freeport maupun pemerintah, tidak pernah menghiraukan
mereka sebagaimana layaknya manusia yang bermartabat (Aminuddin, 2003: 4).
Suku Amungme selama ini hanya dipandang sebagai
objek dari segala kebijakan, dan selalu dianggap bodoh serta terbelakang. Di lain
pihak, pemerintah dan militer selalu memandang mereka sebagai trouble maker.
Bahkan, mereka acap kali distigmakan sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan)/OPM.
Pendekatan keamanan–yang biasanya menyertai stigma OPM/GPK–harus diakui telah
menjadi momok, dan membuat trauma suku Amungme untuk mengembangkan diri secara optimal
dalam menghadapi berbagai gejala baru yang membebani hidup mereka (Aminuddin,
2003: 4).
Dapat disimpulkan, sebenarnya sikap-sikap yang
merendahkan itulah yang sangat mereka tentang. Sikap seperti itu dengan
sendirinya menyepelekan aspirasi dan hak masyarakat serta telah mengorbankan
suku Amungme demikepentingan perusahaan pertambangan Freeport. Untuk merebut
kembali hak-hak mereka yang telah diabaikan, suku Amungme memasuki tahap
perjuangan yang panjang. Perjuangan ini tentu tidak dilakukan dengan kekerasan
semata, tetapi juga melalui dialog antara masyarakat dan Freeport dengan
pihak-pihak yang dianggap berwenang untuk membicarakan kembali berbagai
kebijakan yang telah diambil selama ini terhadap diri mereka (Aminuddin, 2003: 4-5).
Perjuangan dan keprihatinan masyarakat Amungme
selama ini dimanifestasikan dalam beragam bentuk. Mulai dari sikap keras yang sama
sekali tak mau kompromi, sampai dengan sikap lunak yang hanya memohon. Namun,
pihak Freeport dan pemerintah selalu bereaksi berlebihan, tanpa mau memenuhi
tuntutan masyarakat. Setiap reaksi warga harus berhadapan dengan sikap
reaksioner aparat bersenjata dan teror stigmatisasi sebagai anggota GPK/OPM. Tindakan
seperti ini hampir selalu menelan korban jiwa, tetapi pada hakikatnya tetap
tidak menyelesaikan persoalan sama sekali. Sikap reaksioner Freeport dan
pemerintah, justru memperlihatkan bahwa mereka sama sekali tidak memperhatikan
dan mempertimbangkan aspirasi suku Amungme (Aminuddin, 2003: 5).
Di samping itu, pesatnya pembangunan yang
dipelopori Freeport di sekitar lokasi pertambangan membuat suku Amungme menjadi
minoritas di atas tanahnya sendiri. Sementara, permukiman mereka juga semakin
tersingkir dan mereka menjadi masyarakat urban di tengah-tengah kawasan
industri pertambangan termegah di Asia ini. Dengan demikian, pesatnya perkembangan
industri pertambangan di tengah-tengah kehidupan suku Amungme alih-alih mendatangkan
kehidupan yang lebih baik, melainkan semakin memojokkan mereka menjadi kelompok
marjinal. Hal itu diperparah oleh semakin besarnya arus urbanisasi ke Timika
dari daerah-daerah sekitarnya dan juga dari luar Pulau Papua. Akibatnya,
kehidupan yang homogen di masa lalu, seketika itu menghadapi tantangan dari
luar karena hadirnya berbagai suku dan bangsa dengan tingkat kemampuan dan
kesejahteraan yang relatif lebih baik. Seperti yang telah disebutkan, dari sekian
banyak persoalan yang mendera suku Amungme saat ini, persoalan utama yang
membuat mereka meradang adalah perlakuan yang tak memandang mereka sebagai
manusia di atas tanah mereka sendiri. Warga suku Amungme merasakan bahwa
perlakuan yang demikian telahberlangsung sejak perampasan tanah ulayat mereka,
saat dimulainya eksploitasi tambang oleh Freeport. Hal itu diperburuk oleh
sikap aparat birokrasi pemerintah yang selalu menganggap warga di sekitar
lokasi tambang Freeport sebagai suku-suku primitif, bodoh, malas, serta tak
tahu berterima kasih. Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan keberadaan
suku-suku yang ada di sana dengan menyatakan bahwa seluruh tanah yang dikuasai
Freeport adalah tanah negara. Pandangan yang merendahkan itu, baik yang datang
dari Freeport maupun dari pemerintah Indonesia, sangat melukai hati warga
Amungme.berbagai pandangan yang menyatakanbahwa suku Amungme sama sekali tidak
memiliki sistem sosial dan budaya.
E, KESIMPULAN
Pada awal pemerintahan Soeharto. Masalah ekonomi
menjadi momok bagi pemerintahannya. Dengan disetujuinya Kontrak Karya I kepada
Freeport Indonesia (PT FI) pada tanggal 50 April 1967. Indonesia mendapat
suntikan dana yang sangat besar. Sehingga membantu pembangunan Indonesia,
terutama dibidang ekonomi. Fasilitas yang diberikan kepada kroni-kroni
Soerharto terutama ABRI (sekarang TNI) di papua sangat baik dan mendapat uang
keamanan yang sangat besar jumlahnya.
Sejak mulai beroprasinya PT FI di Papua pada
tahun 1970an, perusahaan ini menggandeng aparat keamanan RI, yaitu militer dan
polisi. Bisnis proteksi (Bisnis Penjagaan Keamanan) ini membawa dampak yang
negatif terhadap kehidupan masyarakat yang ada pada wilayah PT FI. Banyak korban
jiwa baik itu dari pihak militer, polisi, warga sipil, maupun suku asli Papua
yaitu Amungme. Kalau ada konflik yang dilakukan oleh suku Amungme ini,
seringkali mereka dikatakan salah satu bagian dari OPM dan di kategorikan
sebagai Gerakan Pengganggu Keamanan (GPK).
Protes suku Amungme di Papua kepada PT FI dan
Pemerintah Indonesia sering kali dilakukan. Namun tidak pernah dihiraukan dan
dianggap sebagai sumber dari konflik. Mereka dianggap sebagai manusia yang
terbelakang dan tidak berperadaban. Mereka menjadi korban kepentingan para
penguasa, yaitu PT Freeport Indonesia, Pemerintah RI, dan Aparat Keamanan RI,
semuanya mempunyai kepentingan ekonomi atas tanah yang kaya akan kandungan
emas, tembaga dan lain sebagainya.
DAFTAR RUJUKAN
Amiruddin & Aderito Jesus de Soares. 2003.
Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan
Militer. Jakarta: Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Azzellini, Dario & Boris Kanzleiter. 2005.
La Empressa Guerra: Bisnis Perang dan
Kapitalisme Global. Yogyakarta: INSISTPress.
Leith, Denise (2000). Politik Kekuasaan: Freeport, Soeharto Indonesia. Sydney: Universitas
Macquarie.
Rahab, al Amiruddin. 2006: Jurnal Penelitian Politik Vol.3, No.1, 2006
Papua Menggugat: Operasi-operasi Militer di Papua, Pagar makan Tanaman. Jakarta:
LIPI.
Artikel
Natkime , Titus. 2006. freeport menambang mineral, rakyat papua
mendulang kekerasan.
Online
Saripedia. 2011. http://saripedia.wordpress.com/tag/kontrak-karya-pt-freeport-indonesia-oleh-soeharto-rezim-orba/
di unduh tanggal 20 November 2013 Jam 21.33 WIB.
Taufik, Mohamad & Islahudin. 2013. Freeport menggangsir kekayaan Papua. (http://www.merdeka.com/peristiwa/awal-kisah-freeport-menggangsir-kekayaan-papua.html)
di unggah tanggal 20 November 2013 Jam 22.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar